Rabu, 02 Maret 2011

URGENSINYA HAK ULAYAT DI MINANGKABAU


Dikehidupan masyarakat adat minangkabau tertuang Fatwa adat yang menyatakan bahwa alam dijadikan guru itu benar-benar dihayati oleh anak kamanakan/masyarakat adat minangkabau yang berbunyi, ‘panakik pisau siraui, ambiak galah batang lintabung, salodang ambiak ka nyiru, nan satitiek jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunung, alam takambang jadikan guru’
Pandangan hidup inilah masyarakat adat menjalankan kehidupan yang berdasarkan kebenaran dan ketentuan-ketentuan yang objektif, maka adat menentukan terlebih dahulu beberapa ketentuan alam terhadap adat itu sendiri, jadi masyarakat adat berjalan pada falsafah atau norma-norma yang berkaitan dengan alam/lingkungan. Tapi jika kita perhatikan lagi secara seksama di masyarakat minangakabau pada dekade saat ini, maka adat yang kita banggakan mulai terkikis secara perlahan akibat dari perkembangan dunia dan teknologi, hebatnya lagi, perubahan sosial yang sedang berlangsung pada saat ini sebetulnya telah di ungkapkan dalam pepatah minangkabau yang berbunyi; ’sakali aie gadang, sakali tapian baraliah’, yang artinya apabila air melimpah atau banjir dan memiliki aliran yang sangat kencang dan deras dapat merubah tepian, walaupun dapat merubah tepian namun sungai tetaplah sungai.
Sama halnya dengan Kehidupan masyarakat di Minangkabau sehari-harinya memakai pola hidup bernagari (gari) yang artinya dilingkupi oleh ketentuan-ketentuan hidup bernagari yang memiliki tingkatan-tingkatan kecil dan besar, serta pengaruh pola hidup yang dibawa oleh masyarakat dari luar nagari secara perlahan akan merubah pola, prilaku dan tatananan sosial masyarakat di nagari.
Dalam kehidupan masyarakat adat, ada dua ketentuan hukum yang mengatur masyarakat dalam hal berhubungan dengan hutan, baik hutan adat, hutan nagari, hutan suku dan hutan kaum, yang mempunyai makna atau maksudnya adalah setiap ulayat (tanah, didalam tanah maupaun di atas tanah {hutan} ) telah ada pengelolaan atau pengaturannya. Demikian pentingnya ulayat (lahan/tanah) bagi masyarakat adat minangkabau, dan menjadikan ulayat sebagai penyatu berbagai struktural sosial masyarakat adat di nagari.

Pembahasan
Setelah terbitnya UUPA di Indonesia telah terbit beragam kebijakan hukum sumber alam (tanah, air, hutan, laut, tambang, perikanan, dan sejenisnya) mendasarkan pada paradigma sentralisme hukum (legal centralism). De jure, kebijakan hukum sentralistik dimaksud ternyata berangsur-angsur mengubur sebagian besar potensi lokal masyarakat tempatan, sehingga ia seakan tidak berdaya dalam mengelola sumber alamnya sendiri.
Dalam konteks tanah dan sumber alam misalnya, di negeri ini praktik penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam berdasarkan atas potensi lokal tempatan, c0ntoh kasusnya memperlihatkan gambaran bahwa pola penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dikonstruksi dengan model bagilie (bergilir). Model demikian memperlihatkan cara mempertahankan dan memanfaatkan sumber alam dilandasi kesepakatan-kesepakatan yang dikonstruksi oleh mamak atas dasar aturan lokal dalam mengatur siapa, apa, bagaimana, dan mengapa penguasaan dan pemanfaatan sumber alam demikian. Selain itu, dalam trouble cases seperti kasus pencurian ikan sungai oleh warga kaum suku tertentu merupakan pelanggaran hukum lokal yang penyelesaiannya pun tidak mengggunakan jalur formal-struktural, misal ketua Rukun Tetangga, Rukun Wilayah, Kepala Desa, dan kepolisian setempat. Dalam perspektif hukum formal, maka X dapat dilaporkan ke Polisi atas dasar sangkaan mengambil sesuatu tanpa seizin pemilik dengan maksud memiliki. Dengan demikian, ia akan dituduh oleh aparat kepolisian telah melakukan pelanggaran hukum negara. Namun, dalam kenyataannya, X justru dilaporkan kepada mamak suku dan penyelesaiannya pun secara berjenjang naik bertangga turun.
Dalam perspektif kultural atau hukum lokal dari trouble case diperoleh pemahaman bahwa model perajahan merupakan hukum yang hidup (living law) berkenaan dengan cara membangun batas-batas non fisik. Selain itu, model penyelesaian lewat kesepakatan antar-mamak di suatu tempat yang disebut Surau merupakan kebiasaan yang telah melembaga. Ini menunjukkan bahwa hukum negara tidak dijadikan sebagai rujukan, bahkan dihindari (avoidance), untuk menyelesaikan persoalan konflik antarkaum berbeda suku, namun diselesaikan lewat saluran kultural masyarakat tempatan.
Secara keseluruhan kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa alasan masyarakatmempertahankan pola penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dengan tetap mendasarkan pada potensi lokal tempatan adalah secara kultural, potensi lokal dapat mewujudkan prinsip-prinsip matrilineal, satu di antaranya mewujud ketika kedatangan suku/sukubangsa (subetnik/etnik) lain dan penyelesaian konflik di nagari tersebut. Kedatangan tersebut menjadikan dalam satu wilayah sama terdapat dua atau lebih suku/sukubangsa. Demikian pula dalam konteks ekonomi, potensi lokal dapat mempertinggi dan menjaga tingkat kesejahteraan dengan cara membagi hasil sumber alam secara ‘merata’ sesuai kehendak alam. Antara kaum satu dan yang lain dalam menerima apa yang diterima dipandang sebagai kehendak alam diyakini sebagai perwujudan Alam Takambang Jadi Guru. Dengan keyakinan demikian, mereka tidak mengeluh, konflik, apalagi sengketa. Praktik demikian, secara politis, dapat menunjukkan kepada komunitas luar bahwa warga komunitasnya mampu mempraktikkan bagaimana ideologi komunal diterapkan secara benar dan dapat mempertemukan berbagai kepentingan berbeda.
Atas dasar kepemilikan atas ulayat di Minangkabau ini sangat berpengaruh pada struktur hukum baik adat maupaun negara. Sedangkan untuk saat ini 2 (dua) ketentuan hukum yang mengatur masyarakat adat minangkabau adalah;

1. Hukum Adat
2. Hukum Positif (Negara)

Telah diketahui secara bersama kalau masyarakat minangkabau mempunyai adat yang bersandar pada syaraq’ (agama), dan ini sangat efisien dan dihormati oleh seluruh struktur masyarakat adat, karena sanksi adat di minangkabau lebih pada sanksi moral dan sosial yang kuat dan mempunyai efek jera yang positif. Sementara Hukum Positif (negara) hanya menampakan pada pemaksaan pelestarian untuk keberlanjutan sumbar daya yang ada di dalam ulayat adat, tanpa ada solusi yang benar-benar dirasakan oleh masyakat.
Begitu juga Pengaturan hutan adat yang dulunya di kelola oleh masyarakat adat secara garis keturunan (genologis), tapi setelah hak kelola ini diberikan pada perorangan (perusahaan), secara drastis masyarakat kehilangan hak kelola dan pemanfaatannya, Hal ini bisa kita lihat poin-poin dibawah ini;
a.   Hutan masyarakat adat, yang mengelola hutan dengan mengambil kayu adalah berdasarkan nilai-nilai adat, dan kesepakatan dalam masyarakat sejak dahulunya meupun sampai sekarang ini, masyarakat adat berhak mengambil, mengelola hutan yang ada di ulayat nagari, suku dan kaum atas izin sesuai dengan tingkatan kepemilikan ulayat dimana kepemilikan ulayat (kayu) diambil, sampai sekarang tidak menimbulkan persoalan atau bencana akibat diambilnya kayu di atas tanah ulayat masing-masing tingkatan, maka tidak menimbulkan ekses terhadap keseimbangan hutan sebagai penyangga tanah dari erosi karena masyarakat adat dalam mengambil kayu di atas tanah ulayat berdasarkan ketentuan-ketantuan yang objektif.
b. Masyarakat adat sebagai pemilik ulayat hanya bisa pasrah atas izin yang dimiliki badan hukum dan badan usaha yang mempunyai hak pengelolaan hutan (HPH) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan izin prinsip diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. HPH ini diberikan kepada pengusaha hutan untuk mengambil kayu di atas tanah ulayat masyarakat. Hal ini tentunya berdampak bagi masyarakat dan akhirnya masyarakat adat yang memiliki ulayat bersikap untuk mengambil untung sebesar-besarnya dengan tidak memperhatikan bencana banjir dan longsor sehingga terjadinya rusaknya hutan secara luar biasa akibat dari penebangan liar.
c.  Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan, masyarakat adat dilarang untuk mengambil kayu di hutan, kecuali apabila telah ada alas hak yang telah mempunyai sertifikat dan/atau surat keterangan kepemilikan dalam bentuk girik (leter c), hal ini menimbulkan persoalan bagi masyarakat adat minagkabau dalam mengelola hutan ulayat, karena ulayat di minangkabau kepemilikannya adalah secara kolektif/komunal, dan tidak memiliki sertifikat atau Letter c sebagaimana daerah lainnya.
Perlakuan yang tidak adil terhadap masyarakat adat di minangkabau, berdampak buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat adat dalam meningkatkan sumber ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Tidak diperbolehkannya masyarakat adat mengelola hutan (kayu) di atas tanah ulayat mereka sendiri, secara langsung telah menghilangkan tatanan adat di minangakabau, karena ulayat adalah salah satu dari bukti dari garis keturunan keluarga/suku/kaum. Diperparah lagi hilangnya nilai-nilai sosial dan aturan atau ketentuan-ketentuan adat yang telah digariskan secara turun-menurun.

c.             Paradigma Masyarakat Adat dalam Hukum positif  tentang Hak Ulayat.

Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap propinsi, kabupaten dan kota yaitu mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang (Pasal 8 Ayat (2) UUD 1945). Pemerintah daerah Propinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus diri sendiri urusan pemerintah menurut azas otonomi dan tugas pembantuan. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hal-hal tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prisnip NKRI yang diatur ddalam Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945.
Pada saat yang sama, bahkan telah berlangsung jauh lebih lama terdapat pelbagai sistem hukum dari masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan lain (the other cultures) selain state law (hukum negara). Masyarakatnya mempertahankan sistem-sistem hukum tersebut secara dinamis sesuai dengan laju kebudayaannya. Sebagian pihak menganggap the other laws bagian dari masa lalu, namun sebagian lagi menyatakan bahwa mereka tetap eksis hingga kini. Dan, sebagian lainnya menyatakan ada, namun semakin terkikis. Keberadaannya acapkali dirasakan pada berbagai peristiwa (hukum). Konsep ‘unifikasi hukum’ tetap didahulukan, maka keberadaan the other laws (hukum-hukum masyarakat lokal) menjadi terkendala. Kendalanya adalah: a) dari sisi masyarakat pemilik hukum lokal, mereka semakin tidak leluasa dalam mengimplementasikan hukumnya, b) dari sisi state, hukum-hukum lain ditanggapi sebagai ganjalan yang dapat menghambat proses pembangunan (semesta).
Apabila seperti persoalan yaitu di Minangkabau, Sumatera Barat bahwa kepemilikan sumber daya alam oleh masyarakat minangkabau sebagai pengatur ulayat adalah aturan positif di tengah-tengah masyarakat adat di nusantara. Kehidupan masyarakat adat Minangkabau dan masyarakat adat lainnya telah diatur oleh dua ketentuan hukum yang mengatur masyarakat dalam hal hubungan dengan ulayat. Sedangkan penguasan ulayat menurut pemerintah sangat jauh berbeda dengan masyarakat adat yaitu;

1. Bahwa masyarkat adat yang mengelola hutan dengan mengambil kayu adalah berdasarkan nilai-nilai adat sesuai dengan kesepakatan yang telah diatur dari dahulu sampai sekarang, dengan nilai-nilai yang objektif.
2. Masyarakat sebagai pemilik ulayat hanya bisa pasrah atas izin yang diberikan oleh pemerintah seperti HPH (Hak Penguasaan Hutan) yang diberikan oleh pemerintah.

Akibat dari izin ini jika terjadi bencana alam adalah masyarakat sebagai penerima bencana sebagai akibat dari aktifitas yang tidak lagi terkendali. Dengan keputusan Menhut bahwa masyarakat dilarang untuk mengambil kayu di hutan kecuali bila telah ada alas hak seperti sertifikat/gerik/leter C, hal ini menimbulkan persoalan di dalam masyarakat. Dalam UUD 1945 juga telah mengatur sedemikian rupa seperti apa yang tercantum dalam Pasal UUD 1945 yaitu Psl 18 ayat (2), Psl 18 B ayat (2), Pasal 36 ayat (2) Pasal 33 ayat (3). Kemudian dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang berkenaan dengan itu dimana tanah adalah merupakan urusan wajib dari pemerintahan daerah, namun hal ini tidak dapat diilaksanakan berkenaan dengan terbitnya Keppres No. 10 tahun 2006 tentang tanah adalah merupakan kewenangan pemerintah pusat, hal ini terjadi tarik-menarik antara pemerintah pusat dan daerah (otonomi setengah hati)mengenai kewenangan tanah juga telah diatur lebih lanjut dalam draft final rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pembagian urusan kewenangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pada prinsipnya kewenangan tentang tanah antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, dimana menyangkut tentang; perumusan kebijakan provinsi mengenai penetapan pengakuan atau penolakan tanah ulayat dengan merujuk kebijakan nasional. Selanjutnya adalah melaksanakan kebijakan provinsi mengenai penetapan, pengakuan atau penolakan tanah ulayat sesuai pasal 11 ayat 1.a dan ayat 1.b.

Pemerintah daerah bersama DPRD Provinsi Sumatera Barat telah membuat Ranperda tentang tanah ulayat periode 1999-2004. Tetapi terjadi polemik dalam pembahasan dan penetapanya yaitu dalam pengembalian tanah ulayat yang telah habis masa berlaku HGUnya. Pemerintah provinsi Sumbar telah menetapkan Perda No. 2 tahun 2007 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari khususnya Pasal 16 ayat (1) menyatakan “hutan adalah merupakan kekayaan nagari”. Berdasarkan beberapa hal tsb di atas, maka untuk melindungi hak ulayat masyarakat dan pengelolaan tanah ulayat perlu ditetapkan:
1.   Perda tentang pemanfaatan tanah ulayat
2.   Perlu adanya Perda pengelolaan/pemanfaatan kayu di hutan tanah ulayat masyarakat adapt
3.  Perlu dibuat regulasi untuk memberikan izin kepada masyarakat adat dalam pemanfaatan kayu di atsa tanah ulayatnya dengan koordinasi antara pemerintahan daerah, kepolisian dan kejaksaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar