Rabu, 02 Maret 2011

SENGKETA PEREBUTAN TANAH ULAYAT, 6 PETANI SUMUT DITEMBAK



 MEDAN (SiaR, 6/1/98), Insiden berdarah terjadi lagi di Sumatera Utara pada penghujung 1998. Tepatnya di Dusun Pasar VI, Batang Kuis, Kabupaten DeliSerdang, Sumut. Sekitar pukul 09.30 WIB, puluhan truk yang mengangkutkaryawan PTPN II (PT Perkebunan Negara) Tanjung Morawa dengan dikawal 40-anpasukan Brimob Tanjung Morawa dan Polsek Batang Kuis serta aparat kecamatan setempat,memasuki lahan garapan petani BPRPI seluas kurang lebih 60 hektar di Batang Kuis.
 
Layaknya diserang secara tiba-tiba oleh pasukan musuh, para petani yang tengah bekerja di ladang panik. Apalagi  ketika ribuan karyawan  PTPN II tersebut langsung melakukan aksi pembabatan dengan menggunakan parang dan golok terhadap tanaman palawija petani.
 
Beberapa pengurus BPRPI Sumut, seperti Basirun (57) dan Ahyar (33) mencoba melakukan dialog dengan pihak Brimob. Namun bukannya dibalas dengan dialog serupa, Basirun malah disongsong tembakan peluru karet. Akibatnya Ketua I BPRPI Sumut itu tersungkur karena 2 buah peluru karet mengenai dadanya. Basirun terpental sejauh 2 meter dan langsung disepak ke parit oleh anggota Brimob yang lain.
 
Melihat Basirun ditembak, para petani yang lain marah, sebagian berlarian panik. Namun jumlah mereka tidak seimbang dengan jumlah karyawan PTPN II. Beberapa yang nekad melawan langsung kena berondong tembakan peluru aparat. Akibatnya korban berjatuhan. Agus Salim (29) tertembak di paha kaki kirinya. Darah segar masih terlihat mengucur ketika Agus dijumpai SiaR siang itu. Petani lain yang terkena tembakan adalah Abdul Rahim (25), Igap (35), Abdul Muis (37), Udin Sagala (35) dan Agus Salim (29).
 
Karyawan PTPN II sendiri bersorak-sorai ketika menyaksikan para petani berlarian dari ladang. Hanya dalam waktu sekitar 1 jam, tanaman jagung,
cabe, ubi, kacang tanah dan pisang yang siap dipanen petani  habis diratakan
oleh para karyawan kebun itu. Termasuk sekitar 50-an gubug yang dirobohkan.
 
"Kelakuan mereka benar-benar seperti PKI," ujar Abdulah Sina (58),
seorang petani, yang dijumpai Selasa (29/12/98) siang. Abdulah Sinai memang pantas geram. Bayangkan tanaman jagung dan ubinya seluas 2 ribu m2 yang 2 minggu lagi hendak dipanen, sudah ludes dihancurkan karyawan PTPN II. Udin Sagala lebih merana lagi. Selain kena tembak dua peluru di pundaknya, tanaman cabenya yang sedang dipanennya, juga habis dibabat para karyawan kebon itu. Padahal harga cabe di Medan sedang melangit.
 
"Bahkan pernah sampai Rp 50 ribu per kg", ujar Udin Sagala.
Namun Udin Sagala, Abdulah Sina dan ratusan petani BPRPI lainnya kini hanya
bisa menahan rasa geram. Bayangan ratusan petani Batangkuis untuk merayakan lebaran dengan menjual hasil panen tanaman palawijanya, pupus sudah.
 
"Kerugian para petani ditaksir tidak kurang dari ratusan juta rupiah," ujar Ahyar (33), salah seorang Ketua Lokasi Tanah Ulayat di Batang Kuis yang tanaman jagungnya juga rata dengan tanah. Ahyar menyesalkan sikap aparat
keamanan dan pihak PTPN II yang tidak mau menepati kesepakatan Bulan November 1998 antara pihak BPRPI dengan dengan Korem 022/Pantai Timur Deli Serdang.
 
Pada pertemuan bulan itu, menurut Ahyar antara pihak BPRPI, PTPN II dan Pemda Sumut, akan segera menyelenggarakan pertemuan tripartit untuk menyelesaikan masalah tanah ulayat (versi BPRPI) atau tanah HGU (versi PTPN II). Tujuannya agar penggunaan tanah tersebut membawa manfaat bagi kedua belah pihak. Namun sebelum kesepakatan itu tercapai, meletus insiden yang mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak BPRPI itu.
 
Sengketa memperebutkan tanah garapan yang diklaim petani BPRPI sebagai tanah ulayat dengan pihak PTPN II sebenarnya sudah berumur panjang. BPRPI, selaku lembaga pemangku adat rakyat Melayu mengklaim bahwa tanah-tanah HGU yang diusahai PTPN II banyak yang merupakan tanah-tanah ulayat milik generasi pendahulu mereka. Contohnya seperti yang mereka usahakan di Batang Kuis.
 
Keberadaan tanah ulayat itu sendiri diakui pemerintah. Bahkan SK Dirjen
Agraria No. 44/1981 berisi bahwa pemerintah akan mendistribusikan 10 ribu hektar tanah sebagai kompensasi atas tanah-tanah ulayat milik BPRPI yang telah dikonversi sebagai lahan HGU PTPN II.
 
"Namun hingga kini tak ada realisasinya," tutur Basirun. Akibatnya petani
BPRPI mulai menggarapi kembali lahan-lahan yang telah menjadi HGU PTPN II itu. Selain itu, yang membuat kesal petani BPRPI adalah perilaku PTPN II yang dianggap seenaknya menjual tanah-tanah HGU untuk kepentingan di luar usaha perkebunan. "Ini lah yang juga membuat petani BPRPI tersinggung," ujar Ahyar sambil menyebut sebuah perumahan mewah di daerah Helvetia yang tanahnya semula merupakan tanah ulayat.
 
Perjuangan para petani BPRPI untuk memperoleh lahan-lahan pengganti tidak pernah surut dilakukan. Berbagai intimidasi dan tindak kekerasan telah kenyang mereka terima. Pada 1995, menurut Ahyar, petani BPRPI di Batang Kuis juga pernah digebug aparat keamanan. Bahkan gubug-gubug tempat tinggal mereka dibakar dan beberapa petani ditangkap aparat keamanan. Namun hal itu tak membuat mereka kapok.
 
"Harga diri kami selaku pewaris dan penjaga tanah ulayat tak mungkin bisa
luntur oleh kekerasan dan iming-iming ganti rugi uang," ujar Ahyar, yang
dibenarkan Ruslan (43) petani BPRPI yang lain. Sebelumnya, pada 16 Desember 98  juga terjadi aksi kekerasan terhadap petani BPRPI di Pasar II dan IV Helvetia, Medan.  Dalam bentrokan itu, puluhan korban jatuh dari keduabelah pihak. Selain tindak kekerasan, Ahyar pribadi pernah mengaku ditawari uang puluhan juta oleh oknum aparat keamanan asal mau mempengaruhi petani lain agar meninggalkan lahan garapan mereka. Sudah tentu, Ahyar menolak mentah-mentah tawaran itu.
 
"Mereka itu tidak mengerti. Soal tanah ulayat adalah soal kehormatan, tidak
mungkin diselesaikan dengan ganti rugi uang," tambah Ahyar sengit. Ahyar
juga menambahkan bahwa petani BPRPI tidak meminta tanah pada negara, tapi mereka memperjuangkan hak atas tanah ulayat, yang juga diakui pemerintah. Ahyar lalu menunjuk TAP MPR RI Tahun 1998 Bab X Pasal 41 tentang perlindungan hak atas tanah ulayat yang dilindungi negara.
 
Pihak PTPN II Sumut sendiri menuduh bahwa ulah para petani BPRPI telah
mempengaruhi tingkat penurunan perolehan devisa dari ekspor tembakau akibat banyaknya lahan-lahan HGU PTPN digarap petani. Dalam Rapat Koordinasi PTPN II Oktober lalu, Dirut PTPN II Ir E Sitorus mengemukakan bahwa setiap tahun pasar Eropa membutuhkan 8 ribu bal tembakau Deli dengan nilai devisa berkisar Rp 400 milyar. Namun menurut Ir.Sitorus, jika lahan-lahan HGU PTPN II sebagian terus-menerus digarap petani BPRPI dan para penggarap liar lainnya, maka musim tanam 1999 yang diproyeksikan bisa mendatangkan devisa Rp 400 milyar bisa gagal. Bukan itu saja, sekitar 12 ribu tenaga kerja juga akan kehilangan pekerjaan.
 
"Tentu saja kita tidak akan membiarkan 12 ribu karyawan di PHK hanya karena 1.000 orang penggarap," tegas Sitorus. Untuk mendukung sinyalemen bos mereka, para karyawan PTPN II belum lama berselang (19/12/98) melakukan unjuk rasa di DPRD Sumut dan Gubsu T Rizal Nurdin. Ir Tambah Karo-Karo, Ketua SP (Serikat Pekerja) PTPN II mendesak DPRD dan Gubsu T Rizal Nurdin untuk  menyelesaikan secara tuntas penggarapan areal HGU oleh para penggarap. Kapoldasu Brigjen Pol Drs Sutiyono menyarankan agar kedua belah pihak yang bersengketa, baik BPRPI maupun PTPN II segera melaksanakan perundingan. "Sengketa boleh-boleh saja namun jangan sampai terjadi bentrokan fisik yang sangat merugikan dan melanggar hukum," ujar Kapolda.Namun himbauan Kapoldasu diterjemahkan lain di lapangan. "Kami bukannyamemanen jagung, tapi malah memanen peluru," ujar Ahyar dengan nada sengit.***
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar